Grage Mall Cirebon |
ANAK saya suka membeli buku di Gramedia. Ia punya kartu members Klub
Bobo, lumayan dapat diskon 10% setiap kali beli buku dan alat tulis di
sana. Puas tiga jam membaca, kadang tanpa belanja apa pun. Saya jadi
pengantar setia anak ke Gramedia. Bisa baca buku dan pastinya dapat
pengetahuan baru.
Memandang arsitektur dan interior Grage Mall di Cirebon, kadang saya
tertegun. Kagum namun sesekali diselipi sebersit kepedihan. Kagum karena
ada fasilatas baru yang dapat dinikmati warga Cirebon dan sekitarnya.
Namun terenyuh karena ternyata bangunan yang menggusur lapangan sepak
bola MERDEKA Gunungsari (di tahun 1957 Bung Karno pernah pidato heroik
dan menggelegar di “podium” lapangan sepak bola itu), lapangan basket,
lapangan tenis, dan kolam renang. Di sudut utara Nasi Jamnblang Mang Dul
dengan tenda sederhana bertempat di sana. Belum lagi pedagang kecil
serta di lahan luar stadion Gunungsari yang dijadikan pangkalan angkutan
kota. Termasuk pasar tradisional Gunungsari, kendati hingga kini tetap
ada tetapi pendapatan pedagang boleh dibilang menurun.
Tahun 1976 adalah awal masuknya angkot di Kota Cirebon dengan tarif Rp 25 (dua puluh lima rupiah) per trayek. Di tahun yang sama, tiket kolam renang Gunungsari Rp 25 bagi pelajar dan ketika naik jadi Rp 50 (lima puluh rupiah) untuk umum, tarif pelajar sebesar Rp 35 (tiga puluh lima rupiah). Maka areal itu menjadi satu-satunya tempat yang selalu hidup siang malam. Ditambah keberadaan terminal bus Gunungsari yang melayani antar kota antar propinsi, lengkap sudah keramaian itu.
Stadion sepak bola Merdeka adalah warisan kolonial Belanda dan
dibangun sebagai sarana olah raga satu-satunya di Cirebon. Tribun yang
terbuat dari kayu jati dengan tiang besi, tempat duduk penonton yang
permanen lantaran terbuat dari semen dan bata. Tribun ini kerap
dijadikan tempat istirahat pelajar sepulang sekolah (saat itu membolos
sekolah sangat sedikit), bahkan bila ada tugas kelompok saya dan
teman-teman SMP pernah memanfaatkan tribun stadion, tentu saja siang
hari sepulang jam sekolah.
Lapangan basket sudah pasti merupakan wahana olah raga sekolah yang
dekat lokasi tersebut malah kerap diadakan lomba antar sekolah. Sesekali
lapangan basket menjadi tempat perkelahian pelajar, baik satu lawan
satu dan disaksikan para suporter maupun lebih dari perkelahian dua
orang. Tapi perkelahian pelajar masa SMP saya selalu berakhir setelah
perkelahian selesai, tak sampai menimbulkan dendam, apalagi berurusan
dengan pihak kepolisian. Maksimal berujung setelah didamaikan kepala
sekolah jikalau perkelahian pelajar melibatkan banyak siswa.
Beberapa saat lalu seorang teman di multiply.com
menyurati saya menyoal hedonisme dan paham kapitalistik yang terus
mengoyak warga Cirebon. Diam-diam keduanya mengurai sisi budaya Cirebon,
bahkan terus mendesakkan kekuatannya sehingga semakin susah menemukan
bangunan lama. Mungkin akibat peradaban yang senantiasa berganti pada
setiap fase generasi manusia dan kemanusiaan. Mungkin pula lantaran
ketidakmampuan pemerintah daerah mempertahankan gedung-gedung tua nan
bersejarah — atas nama pembangunan.
Saya bukan anti pembangunan. Sebagai warga negara yang baik, apalagi bukan pengambil kebijakan — saya tidak punya kuasa apa-apa. Namun akan sangat bijak seandainya bangunan bersejarah di seluruh kota Indonesia TIDAK ditukar guling, terlebih janji pemerintah yang biasanya tidak memenuhi kontrak tukar guling itu.
Begitulah. Stadion Gunungsari ketika dihantam alat berat penghancur
bangunan, tukar guling yang disepakati antara pengembang dengan
pemerintah daerah adalah menyediakan 5 (lima) lapangan sepak bola di 5
(lima) kecamatan Kota Cirebon. Tapi hingga kini hanya sebuah kolam
renang yang dibangun dekat stadion Bima.
Meski bukan olah ragawan, saya suka terenyuh menyaksikan tukar guling
bangunan lama –biasanya merupakan fasilitas publik– berakhir dengan
makin berkurangnya fasilitas publik. Lahan hijau terbuka yang berganti
kemasan jadi pom bensin (SPBU), gedung tua yang dihancurkan serta
berubah fungsi menjadi wadah transaksi bisnis “modern”, pasar
tradisional yang diremajakan menjadi pusat belanja serba ada dengan
berbagai istilah, dan masih banyak lainnya.
Ironinya bangunan pengganti atas proses tukar guling sering tidak
memenuhi kesepakatan yang telah disepakati secara tertulis, disaksikan
banyak orang dan dipublikasikan media massa setempat. Begitulah
berlangsung proses peniadaan, warisan sejarah, minimal sebutlah warisan
masa lalu yang tidak cuma meninggalkan kesan; namun proses peniadaan
yang kental berbau kapitalisme dan hedonisme. Perubahan yang terasa
cepat meninggalkan yang lama, mengganti dengan yang baru, dengan
perhitungan kurang mempedulikan konsep tata ruang kota yang asri.
Berkurangnya jumlah sarana publik di bidang olah raga (stadion
gunungsari menjadi grage mall) berimplikasi pada kian merosotnya
prestasi olah raga. Dalam ukuran kecil, olah raga menjadi barang mahal
–setidaknya mengeluarkan biaya– karena harus menyewa sarana olah raga
yang disediakan swasta.
Stadion Merdeka Gunungsari yang juga berfungsi sebagai tempat santai
gratis keluarga, jika sedang tidak berlangsung event olah raga,
“dipaksa” berganti dengan mall. Santai di mall sudah pasti sekalian
belanja. Konsumtif serta hanya memanjakan masyarakat dalam hal menguras
isi kocek. Kendati tidak memaksa, tetap saja setiap konsumen mengunjungi pusat belanja akan mengeluarkan uang.
Pihak mall tidak kalah strategi. Desakan bisnis dalam bingkai
kapitalistik mematok istilah wisata belanja. Penyediaan kolam renang
beserta water boom dengan tarif
mahal, hotel dan pelbagai fasilitas publik (semisal bank, ATM dsb) pada
mulanya berawal dari belanja kebutuhan sehari-hari. Belanja mengeluarkan
uang tunai atau secara menggesek credit card memungkinkan konsumerisme
yang berlebihan.
Mohon maaf saya tidak bermaksud menyalahkan pengelola bisnis.
Semuanya kembali kepada kita untuk masuk dalam budaya massa ataukah
tidak. Keberadaan pusat belanja memang memggairahkan perekonomian
masyarakat, termasuk pendapatan daerah (kendati saya tidak tahu berapa
pendapatan daerah yang diperoleh dari sejumlah mall yang ada di
Cirebon). Hanya saja sejak Kota Cirebon menyatakan diri sebagai Kota
1000 Mall, sejak itu kecenderungan pemerintah daerah bersama pebisnis
makin getol mendirikan mall dan sejenisnya di kota berpenghuni lebih
sedikit saja dari 300.000 jiwa.
Akibatnya, pedagang kecil kian tergusur. Pasar tradisional cenderung
tergeser dan mengalami penurunan pendapatan. Pemda setempat kemudian
dibuat bingung dengan merebaknya Pedagang Kaki Lima yang juga membuat
pusing pengelola mall, karena PKL mendirikan tenda-tendanya di troroar
depan mall. Lalu lintas semakin ruwet, pejalan kaki kehilangan haknya.
Jangan katakan jikalau hal ini merupakan fenomena kota atau tuntutan
perubahan. Menurut hemat saya kebijakan yang diproduk pemerintah sudah
seharusnya berangkat dari kepentingan publik yang lebih besar, bukan
sekadar mementingkan pengusaha. Istilah win win solution agaknya tidak berhenti pada kepentingan pejabat-pengusaha-dan LSM yang mudah tergiur godaan uang.
Kebijakan publik sudah pasti harus bermukim pada kepentingan publik.
Tidak saling silang menimbulkan polemik. Jumlah mall yang ada di Cirebon
dalam hitungan saya sudah cukup, tidak perlu ditambah lagi. Bukankah
pusat belanja yang dikelola pemerintah daerah Kota Cirebon ada yang
tidak berfungsi, kosong tanpa kegiatan ekonomi, padahal bangunannya
masih layak digunakan sebagai transaksi ekonomi publik?
Mall terluas yang belum selesai dibangun –namun beberapa blok sudah
difungsikan– sebaiknya merupakan mall terakhir di Cirebon. Jika
pemerintah tanggap pada kepentingan publik, apa salahnya warga sekitar
mall memperoleh prioritas dipekerjakan di sana. Demikian pula adanya
kontrak pengembang memajukan sektor pendidikan karena lokasi mall
tersebut dekat dengan sekolah umum. Campur tangan pemerintah dibutuhkan
agar pembangunan tetap sinergi dengan aspek kehidupan masyarakat.
Peniadaan fasilitas publik pun sudah saatnya diakhiri. Pemerintah
yang baik bahkan harus menambah fasilitas publik sehingga kota menjadi
nyaman, asri, dan mampu menyedapkan pandangan mata. Bukan sebaliknya :
sumpek, semrawut, dan panas. Mudah-mudahan bukan mimpi jika suatu waktu
saya menyaksikan pemerintah kota Cirebon menyediakan sebuah stadion olah
raga di 5 (lima) kecamatan yang ada, sebagai perwujudan proses tukar
guling Stadion Merdeka Gunungsari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimanakah Menurut Anda?